Hana, Wanita yang Mengembalikan Anaknya kepada Allah
Ibu manakah yang tidak ingin membesarkan anak-anak Kristen yang setia? Dari Hana kita akan mulai belajar beberapa alasan mengapa Samuel bisa menjadi orang yang begitu besar dalam pelayanan Allah.
Hana melihat statusnya sebagai ibu adalah sebuah keistimewaan. Dia memohon kemurahan Allah untuk memberinya seorang anak (1 Samuel 1:10, 11, 27). Banyak orang berpikir bahwa kehadiran anak-anak sangat mengganggu dan menjadikan mereka budak. Ada juga yang menginginkan anak-anak tetapi tidak mau jadi ibu bagi anak-anak tersebut, mereka mencari pembantu atau baby sitter untuk mengurus anak-anak mereka.
Mereka perlu diajarkan tentang kasih yang benar yang harus mereka tunjukkan terhadap anak-anak mereka (Titus 2:3-5). Dengan adanya anak-anak yang adalah anugerah tentunya tanggung jawabpun semakin banyak. Walaupun sebagai orang tua kadang-kadang kita melakukan kesalahan, jika anak-anak kita mengetahui bahwa kita mengasihi mereka, maka hal itu akan mampu mengatasi kekecewaan ataupun sakit hati yang ada.
Sayangnya, banyak anak-anak yang tidak diinginkan kehadirannya. Ribuan anak dibunuh melalui aborsi. Banyak yang mendapatkan penganiayaan dari orang tua baik secara fisik maupun seksual. Orang tua dan orang dewasa lainnya yang mengucapkan kata-kata yang kasar pada anak-anak menghasilkan masalah psikologis yang permanen. “Mengapa kamu begitu bodoh?” “Apakah kamu tidak bisa seperti saudaramu?” “Mengapa kamu tidak cepat saja besar dan pergi dari sini?” “Mengapa kamu tidak bisa melakukan yang benar sedikitpun?” “Kamu tidak secantik kakakmu!” “Jika saja bukan karena membesarkan kamu, mungkin hidup saya sudah lebih baik dari pada sekarang ini!” “Saya benci kamu!” Kalimat-kalimat seperti ini akan menyebabkan sakit hati selama hidup dan menghancurkan harga diri. Jika Saudara mengucapkan kata-kata seperti itu kepada anak-anak saudara atau kepada suami saudara, bagaimanapun Anda bertobat dari perbuatan seperti itu, mereka tidak akan pernah melupakan kata-kata tersebut.
Mazmur 127:3-5: “Mengingatkan kita bahwa anak-anak kita adalah warisan kita serta membutuhkan kasih dan pelatihan rohani. Hana mengetahui prinsip ini serta mengajarkan Samuel tetang hal itu sejak usia dini. Sejak saat dia disapih (kemungkinan usia 5 atau 6, sebagaimana kebiasaan pada saat itu), dia telah siap untuk meninggalkan ibunya dan tinggal di kemah suci di dalam ruangannya sendiri. Eli akan melanjutkan pengajaran kepada Samuel. Tidak ada indikasi yang menyebutkan bahwa Samuel bertanya-tanya pada ibunya atas keputusan yang dia buat baginya untuk tinggal di kemah suci dan melayani Allah. Tidak ada istilah terlalu dini mengajar anak-anak kita.
Kita harus siap untuk menyatakan bahwa tempat pertama yang akan dikunjungi anak-anak kita setelah mereka lahir adalah kebaktian. Anak-anak harus belajar untuk pergi ke kelas Alkitab mereka tanpa ibu, duduk dan diam pada saat kebaktian tanpa harus berlari kesana kemari. Mereka bisa memegang mainan atau buku untuk membuat diri mereka betah tanpa harus mengganggu orang lain. Mereka perlu minum atau ke kamar kecil sebelum kebaktian dimulai agar mereka tidak mengganggu orang lain. Mereka dapat belajar bahwa ada saat bagi mereka untuk berlari, bermain, berbicara dan lain-lainnya dan juga ada saat dan tempat bagi mereka untuk duduk dengan senyap tanpa harus berbicara.
Aku akan masuk ke dalam rumah-Mu dengan membawa korban-korban bakaran, aku akan membayar kepada-Mu nazarku, (Mazmur 66:13).
Hana percaya dengan sumpahnya kepada Allah. Dia sadar bahwa kata-katanya sangat penting untuk karakternya. Beberapa orang berdosa ketika mereka sedang sakit atau dalam masa kesukaran dan mereka berjanji kepada Allah akan melakukan yang lebih baik lagi dalam melayani Dia bila Dia menolong mereka untuk keluar dari masalah mereka. Tetapi setelah masa-masa darurat berakhir, mereka melupakan Allah dan janji mereka.
“Janganlah mulutmu membawa engkau ke dalam dosa, dan janganlah berkata di hadapan utusan Allah bahwa engkau khilaf. Apakah perlu Allah menjadi murka atas ucapan-ucapanmu dan merusakkan pekerjaan tanganmu?” (Pengkhotbah 5:5).
Hana adalah seorang perempuan yang percaya kepada doa dan memenuhi sumpah/janjinya. Hana adalah jenis ibu yang berpikir bahwa yang terbesar yang bisa dia lakukan kepada anaknya adalah menyerahkannya untuk melayani Allah. Dia sadar bahwa dia tidak memiliki kekayaan dunia sebab itu dia mempersiapkan kekayaan rohani. Kita perlu berhati-hati bahwa kita melatih anak-anak kita untuk melayani Tuhan dan mempersiapkan mereka untuk mendapatkan pahala rohani mereka. Beberapa ibu menghalangi keinginan anak-anak mereka untuk menjadi penginjil, sebab gajinya tidak banyak. Menghitung-hitung hal-hal duniawi dan memiliki kekayaan bukanlah hal yang terpenting. Apakah yang Saudara ajarkan terhadap anak-anak Saudara?
Hana melihat statusnya sebagai ibu adalah sebuah keistimewaan. Dia memohon kemurahan Allah untuk memberinya seorang anak (1 Samuel 1:10, 11, 27). Banyak orang berpikir bahwa kehadiran anak-anak sangat mengganggu dan menjadikan mereka budak. Ada juga yang menginginkan anak-anak tetapi tidak mau jadi ibu bagi anak-anak tersebut, mereka mencari pembantu atau baby sitter untuk mengurus anak-anak mereka.
Mereka perlu diajarkan tentang kasih yang benar yang harus mereka tunjukkan terhadap anak-anak mereka (Titus 2:3-5). Dengan adanya anak-anak yang adalah anugerah tentunya tanggung jawabpun semakin banyak. Walaupun sebagai orang tua kadang-kadang kita melakukan kesalahan, jika anak-anak kita mengetahui bahwa kita mengasihi mereka, maka hal itu akan mampu mengatasi kekecewaan ataupun sakit hati yang ada.
Sayangnya, banyak anak-anak yang tidak diinginkan kehadirannya. Ribuan anak dibunuh melalui aborsi. Banyak yang mendapatkan penganiayaan dari orang tua baik secara fisik maupun seksual. Orang tua dan orang dewasa lainnya yang mengucapkan kata-kata yang kasar pada anak-anak menghasilkan masalah psikologis yang permanen. “Mengapa kamu begitu bodoh?” “Apakah kamu tidak bisa seperti saudaramu?” “Mengapa kamu tidak cepat saja besar dan pergi dari sini?” “Mengapa kamu tidak bisa melakukan yang benar sedikitpun?” “Kamu tidak secantik kakakmu!” “Jika saja bukan karena membesarkan kamu, mungkin hidup saya sudah lebih baik dari pada sekarang ini!” “Saya benci kamu!” Kalimat-kalimat seperti ini akan menyebabkan sakit hati selama hidup dan menghancurkan harga diri. Jika Saudara mengucapkan kata-kata seperti itu kepada anak-anak saudara atau kepada suami saudara, bagaimanapun Anda bertobat dari perbuatan seperti itu, mereka tidak akan pernah melupakan kata-kata tersebut.
Mazmur 127:3-5: “Mengingatkan kita bahwa anak-anak kita adalah warisan kita serta membutuhkan kasih dan pelatihan rohani. Hana mengetahui prinsip ini serta mengajarkan Samuel tetang hal itu sejak usia dini. Sejak saat dia disapih (kemungkinan usia 5 atau 6, sebagaimana kebiasaan pada saat itu), dia telah siap untuk meninggalkan ibunya dan tinggal di kemah suci di dalam ruangannya sendiri. Eli akan melanjutkan pengajaran kepada Samuel. Tidak ada indikasi yang menyebutkan bahwa Samuel bertanya-tanya pada ibunya atas keputusan yang dia buat baginya untuk tinggal di kemah suci dan melayani Allah. Tidak ada istilah terlalu dini mengajar anak-anak kita.
Kita harus siap untuk menyatakan bahwa tempat pertama yang akan dikunjungi anak-anak kita setelah mereka lahir adalah kebaktian. Anak-anak harus belajar untuk pergi ke kelas Alkitab mereka tanpa ibu, duduk dan diam pada saat kebaktian tanpa harus berlari kesana kemari. Mereka bisa memegang mainan atau buku untuk membuat diri mereka betah tanpa harus mengganggu orang lain. Mereka perlu minum atau ke kamar kecil sebelum kebaktian dimulai agar mereka tidak mengganggu orang lain. Mereka dapat belajar bahwa ada saat bagi mereka untuk berlari, bermain, berbicara dan lain-lainnya dan juga ada saat dan tempat bagi mereka untuk duduk dengan senyap tanpa harus berbicara.
Aku akan masuk ke dalam rumah-Mu dengan membawa korban-korban bakaran, aku akan membayar kepada-Mu nazarku, (Mazmur 66:13).
Hana percaya dengan sumpahnya kepada Allah. Dia sadar bahwa kata-katanya sangat penting untuk karakternya. Beberapa orang berdosa ketika mereka sedang sakit atau dalam masa kesukaran dan mereka berjanji kepada Allah akan melakukan yang lebih baik lagi dalam melayani Dia bila Dia menolong mereka untuk keluar dari masalah mereka. Tetapi setelah masa-masa darurat berakhir, mereka melupakan Allah dan janji mereka.
“Janganlah mulutmu membawa engkau ke dalam dosa, dan janganlah berkata di hadapan utusan Allah bahwa engkau khilaf. Apakah perlu Allah menjadi murka atas ucapan-ucapanmu dan merusakkan pekerjaan tanganmu?” (Pengkhotbah 5:5).
Hana adalah seorang perempuan yang percaya kepada doa dan memenuhi sumpah/janjinya. Hana adalah jenis ibu yang berpikir bahwa yang terbesar yang bisa dia lakukan kepada anaknya adalah menyerahkannya untuk melayani Allah. Dia sadar bahwa dia tidak memiliki kekayaan dunia sebab itu dia mempersiapkan kekayaan rohani. Kita perlu berhati-hati bahwa kita melatih anak-anak kita untuk melayani Tuhan dan mempersiapkan mereka untuk mendapatkan pahala rohani mereka. Beberapa ibu menghalangi keinginan anak-anak mereka untuk menjadi penginjil, sebab gajinya tidak banyak. Menghitung-hitung hal-hal duniawi dan memiliki kekayaan bukanlah hal yang terpenting. Apakah yang Saudara ajarkan terhadap anak-anak Saudara?